Bercelana rombeng dan kemeja lusuh, seorang kakek tua berdarah Tionghoa duduk di depan rumahnya di kawasan Kedung Waru, Tulungagung, Jawa Timur. Tidak ada yang bisa terbaca dari penampilannya jika dulu kakek tua ini seorang pejuang kemerdekaan.
Ketika berbicara barulah tahu kalau laki-laki itu, Oei Hok San (86), veteran pejuang kemerdekaan 1945. Hok San adalah mantan tentara pelajar di Kediri, Jawa Timur. Dia masih mengingat dengan jelas bagaimana 300 pejuang suku Jawa dan 50 pejuang suku Tionghoa ditembak mati tentara Belanda. Mereka ditembak di dalam dua toko dan sebuah gudang.
Dia pun masih lancar bercerita tentang ayahnya, Oei Djing Swan, yang pernah memerintahkan seorang pejuang bernama Tan Bun Yin membalas dendam kepada seorang mayor Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Mayor itu telah menembak mati dokter Tan Ping Djiang, republiken yang menentang Belanda saat Clash II pada 1949. Tan Ping Djiang memerintahkan komandan Belanda itu agar memberitahu HJ van Mook Indonesia dan Asia sudah merdeka. ”Kasih tahu Van Mook, Belanda silakan mundur dari Indonesia,” kata Hok San menirukan ucapan Tan Ping Djiang.
Perjuangan warga Tionghoa untuk kemerdekaan Indonesia tidak berbeda dengan perjuangan suku-suku yang lain. Semasa perang kemerdekaan 1945-1949 banyak pejuang keturunan Tionghoa yang terlibat dalam pertempuran melawan Belanda di garis depan, garis belakang, ataupun di daerah pendudukan Belanda. Para veteran tersebut ditemui di sejumlah daerah, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera dan daerah lain di Indonesia.
Keberadaan para tionghoa veteran 45 juga dapat ditemui di ”Kota Pahlawan” Surabaya. Sebut saja Liauw Thian Moek alias Leo Wenas (89) yang tinggal di Jalan Raya Gubeng. Mantan anggota Badan Keamanan Rakyat itu bersemangat menceritakan kisah arek-arek Suroboyo berjuang melawan Inggris-Belanda.
Para pemuda, yang kala itu hampir menghancurkan kekuatan Inggris di Gedung Internatio, harus mundur mengikuti perintah Soekarno yang diminta SEAC (South East Asia Command) untuk menjadi mediator. Namun, gencatan senjata yang hanya berlangsung tiga hari itu digunakan pihak Inggris mundur ke Tanjung Perak, memperkuat diri, dan terjadilah pertempuran berdarah 10 November 1945 dengan korban sekitar 10.000 pemuda-pemudi Indonesia.
”Modal kami hanya bambu runcing, tetapi kami berusaha menjebak serdadu Inggris yang lengah. Pernah satu jip berisi tentara Gurkha terjebak lalu dikerubuti pemuda beramai-ramai. Mereka semua tewas,” kata Liauw.
Tidak kalah seru cerita Letnan Kolonel (Purn) Ong Tjong Bing alias Daya Sabdo Kasworo (90). Dia
ikut merawat korban pertempuran 10 November 1945 yang dibawa ke Malang. Pria asal Desa Kerebet itu mengikuti pendidikan tekniker gigi dan dokter gigi lalu bergabung dengan militer pada 1953 sebagai pegawai sipil. Dia mulai menyandang pangkat militer sebagai kapten pada 1955 di bawah Resimen Infanteri RI-18 Jawa Timur.
Oei Hok San yang kehidupannya sangat miskin tidak mengharapkan tunjangan dan hak-haknya sebagai veteran 45 diberikan negara. ”Saya cuma berpesan agar dibangun monumen untuk menuliskan nama teman-teman pejuang. Kasihan mereka dilupakan begitu saja,” kata Hok San yang kini hidup menggelandang di kelenteng-kelenteng.